Founder Telegram, Pavel Durov, gagal mendapatkan izin untuk menghadiri Oslo Freedom Forum secara langsung. Pengadilan Prancis menolak permohonannya untuk melakukan perjalanan ke Norwegia. Padahal, Durov dijadwalkan menjadi pembicara utama di acara yang membahas kebebasan sipil dan hak asasi manusia ini.
Human Rights Foundation (HRF), penyelenggara forum, memastikan Durov akan tetap menyampaikan pidatonya secara daring. CEO HRF, Thor Halvorssen, menyatakan kekecewaannya atas keputusan pengadilan yang menghalangi kehadiran fisik Durov. Menurutnya, suara Durov sangat penting di forum tersebut.
Saat ini, Durov masih dalam pengawasan ketat hukum Prancis. Ia tidak diperbolehkan meninggalkan negara tersebut tanpa izin. Selain Norwegia, perjalanan ke Amerika Serikat untuk urusan bisnis juga baru-baru ini ditolak oleh otoritas Prancis.
Durov Tuduh Intelijen Prancis Tekan untuk Sensor Politik
Ketegangan meningkat ketika Durov menuduh intelijen Prancis mencoba memaksanya menyensor konten politik konservatif. Tuduhan ini terkait pemilihan presiden di Rumania. Dalam pertemuan yang disebut terjadi di Hôtel de Crillon, Paris, kepala intelijen Nicolas Lerner diduga meminta Durov memblokir suara-suara tersebut.
Durov dengan tegas menolak permintaan itu. Ia menegaskan, Telegram lebih memilih keluar dari pasar daripada ikut serta dalam sensor politik. Menurutnya, platform ini tak pernah memblokir demonstran di negara-negara seperti Rusia, Belarus, atau Iran.
Sikap Durov menunjukkan komitmennya pada kebebasan berbicara. Ia percaya bahwa demokrasi tidak bisa dilindungi dengan cara menghancurkannya melalui sensor. Pernyataan ini menguatkan posisinya sebagai pembela hak asasi dan kebebasan digital.
Baca juga Stablecoin Keluarga Trump Bikin Geger, GENIUS Act Segera Diubah!
Telegram Tumpas Jaringan Kejahatan Siber Bernilai Rp500 Triliun
Selain menghadapi tekanan hukum, Telegram juga beraksi memerangi penyalahgunaan platformnya. Baru-baru ini, ribuan kanal kriminal berhasil ditutup. Jaringan ini diduga mengelola transaksi ilegal lebih dari $35 miliar, atau sekitar Rp500 triliun.
Mereka menyediakan layanan seperti pencucian uang, pembuatan identitas palsu, dan pemerasan siber. Bahkan, jaringan ini terkait dengan perdagangan manusia di Asia Tenggara yang mengeksploitasi korban untuk menjalankan skema penipuan.
Langkah tegas Telegram menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga keamanan pengguna. Meski tantangan besar di dunia digital terenkripsi, platform ini bertekad memerangi aktivitas kriminal demi ruang komunikasi yang lebih aman.
Baca juga Solana Alami Lonjakan Volume Memecoin dan Kemitraan Strategis R3