Chainalysis baru saja merilis laporan Global Crypto Adoption Index 2024 yang menempatkan Indonesia di urutan ke-3 dalam daftar negara dengan tingkat adopsi kripto tertinggi dari 151 negara. Hasil ini menunjukan Indonesia berada di bawah India dan Nigeria, yang masing-masing menduduki posisi pertama dan kedua. Namun, apakah ini benar-benar mencerminkan kondisi adopsi kripto di Indonesia saat ini?
Tahun 2023, Indonesia berada di urutan ke-7, dan lonjakan ke peringkat ke-3 tahun ini seolah memberikan sinyal bahwa adopsi kripto di Indonesia berkembang pesat. Namun, kami merasa ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan lebih dalam terkait metodologi yang digunakan dalam indeks ini. Bukan hanya tentang metodologi, namun kami rasa ada ketidakcocokan dari hasil yang dipaparkan dalam laporan ini dengan kondisi pasar di Indonesia.
Metodologi yang Mengandalkan Transaksi
Laporan Chainalysis didasarkan pada empat sub-indeks utama, yaitu:
- Centralized Service Value Received
- Retail Centralized Service Value Received
- DeFi Value Received
- Retail DeFi Value Received
Indeks ini mengukur transaksi kripto baik di layanan terpusat, mungkin termasuk CEX, maupun di ekosistem decentralized finance (DeFi). Yang menarik perhatian kami adalah bagaimana Indonesia mendapat skor tertinggi dalam sub-indeks DeFi, bahkan mengungguli negara-negara seperti AS, India, dan Nigeria. Padahal, jika melihat kondisi pasar, mayoritas pengguna kripto di Indonesia masih lebih banyak menggunakan platform terpusat (CEX) untuk trading, dan DeFi belum mendapatkan adopsi yang signifikan di kalangan masyarakat umum.
Anomali Adopsi DeFi di Indonesia
Menurut laporan tersebut, secara tidak langsung Indonesia menduduki peringkat pertama dalam kategori DeFi Value Received dan Retail DeFi Value Received. Karena pada laporan tersebut semakin mendekati ke angka 0 maka semakin bagus penilaiannya. Dan nilai DeFi Value Received dan Retail DeFi Value Received Indonesia adalah 1, alias nilai tertinggi dibandingkan 20 negara lain yang ada di daftar Chainalysis, bahkan mungkin nilai ini tertinggi dibandingkan 151 negara lainnya secara total. Namun, kenyataannya, ekosistem DeFi di Indonesia kami rasa belum cukup kuat untuk mendukung klaim tersebut. Karena pemahaman dan penggunaan DeFi di Indonesia terbilang masih masih terbatas, dan investor masih dominan menggunakan Centralize Exchange untuk bertransaksi aset kripto.
Jika pun memang data ini benar, ini bisa menjadi sentilan juga bagi pemerintah. Hingga Juni 2024, OJK mengatakan jumlah investor kripto adalah 20,24 juta, dengan akumulatif transaksi kripto pada semester 1 2024 mencapai Rp301,7 triliun. Data ini bisa dibilang didapat OJK berdasarkan transaksi yang terjadi di centralize exchange yang ada di Indonesia. Pertanyaannya, jika transaksi dan jumlah investor CEX saja mencapai angka tersebut, bagaimana dengan angka di DeFi? Kategori yang bahkan belum diregulasi oleh pemerintah.
Indonesia mendapat nilai 6 untuk Centralized Service Value Received & Retail Centralized Service Value Received, dan nilai 1 untuk DeFi Value Received Retail dan DeFi Value Received. Bisa diasumsikan perbandingannya 1:6. Jika diasumsikan, bisa kita katakan adopsi DeFi di Indonesia 6x lebih tinggi dibandingkan centralize services berdasarkan laporan ini. Jika total transaksi centralize di Indonesia Rp301 triliun, pertanyaannya berapa total transaksi di DeFi? Ini perlu digaris bawahi.
Sayangnya, laporan dari Chainalysis belum rilis secara versi lengkap. Sehingga kami pun ingin mendalami, dari mana sumber Chainalysis dapat memberikan Indonesia nilai setinggi ini. Namun bagi kami, adopsi DeFi di Indonesia harusnya tidak setinggi itu. Jika pun iya, berarti regulator harus mulai membuka mata untuk meregulasi sektor ini.
Adopsi Kripto di Indonesia: Apa yang Sudah Berkembang?
Jika kita berbicara tentang adopsi kripto secara menyeluruh, perlu ada pengukuran yang lebih komprehensif. Jika laporan ini berjudul ‘Global Public Adoption’, mungkin cukup relate karena hanya mengukur volume atau transaksi dari centralize services dan DeFi. Namun jika laporan ini berjudul ‘Global Adoptioin’, kami rasa aspek seperti infrastruktur blockchain, inovasi teknologi, lingkungan regulasi, dan kesiapan industri juga harus diperhitungkan.
Hingga saat ini, penggunaan kripto di Indonesia masih didominasi oleh aktivitas investasi dan trading. Jika kita intip dari pemerintah saja, yang dilaporkan ke publik hanya jumlah transaksi dan jumlah investor. Tidak pernah dipaparkan berapa banyak perusahaan kripto yang sudah ada di Indonesia? Seberapa besar penetrasinya? Infrastruktur kripto di Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang signifikan di luar ekosistem centralize exchange. Penggunaan smart contract, GameFi, NFT, dan proyek blockchain lokal masih dalam tahap awal, dengan adopsi di kalangan masyarakat yang bagi kami masih sangat terbatas.
Regulasi pun masih terfokus pada perdagangan kripto di centralize exchange. Hingga sekarang, regulasi terkait DeFi, NFT, atau layanan on-ramp/off-ramp di Indonesia masih belum jelas. Ini menunjukkan bahwa dari segi kesiapan regulasi dan infrastruktur, Indonesia belum cukup maju untuk mendukung adopsi kripto secara menyeluruh. Bukannya membandingkan, tapi kami melihat ada beberapa perusahaan yang juga membuat laporan adoption index. Salah satunya adalah Henley & Partners. Dan menariknya variabel sub index yang mereka nilai jauh lebih lengkap dibandingkan laporan Chainalysis.
Gambar diatas adalah variabel yang digunakan Henley & Partners, meliputi Public Adoption, Infrastructure Adoption, Innovation Technology, Regulatory Environment, Economic Factors, dan Tax Friendliness. Dengan key parameters dan key resources yang jelas yang bisa kita lihat untuk masing-masing variabel atau sub index. Bagi kami, variabel ini lebih memenuhi untuk menyatakan suatu negara memiliki adopsi yang bagus atau tidak. Walau memang, nama Henley & Partners tidak sebesar nama Chainalysis. Sekedar informasi, dalam laporan tersebut Indonesia bahkan tidak masuk ke-20 besar.
Kesimpulan: Apakah Indonesia Layak di Posisi ke-3?
Berdasarkan fakta-fakta di atas, kami menilai bahwa menempatkan Indonesia di posisi ke-3 dalam Global Crypto Adoption Index 2024 adalah keputusan yang kurang tepat. Jika laporan ini mengukur adopsi dari perspektif transaksi kripto saja, mungkin Indonesia layak mendapatkan posisi tersebut. Namun, jika kita mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti infrastruktur, inovasi teknologi, dan regulasi, ada banyak ruang bagi Indonesia untuk berkembang.
Laporan seperti ini tentu penting untuk memberikan gambaran umum tentang tren global. Namun, metodologi yang lebih inklusif dan variabel yang lebih luas akan memberikan representasi yang lebih akurat mengenai kondisi adopsi kripto di Indonesia. Kami pribadi akan menunggu rilis versi full dari laporan ini, untuk mengetahui apakah paremeter dan resourcesnya sudah sesuai atau belum.